#selfreminder

LIVE

Orang-orang yang pernah dikecewakan oleh manusia, tidak akan mudah untuk kembali percaya pada manusia. Sebab, luka mungkin sembuh, namun trauma tidak.

Jika disuruh pilih antara pekerjaan dan orang tua. Hingga ribuan kali pun, tetap orang tua.

Kenapa? Rezeki bisa di cari, Allah tak pernah hilangkan rezki kita kecuali ruh telah pergi meninggalkan jasad.

Tahu apa hal paling menyesakkan dalam hidup selain kematian orang yang kita sayang? Saat ada kesempatan untuk berbakti tapi karena urusan dunia kita melewatkannya.

Tidak Berharap Pada Manusia

Kurang-kurangi berharap dari manusia, sebab yang kau harapkan bisa saja menjadi hal yang paling mengecewakan yang datang padamu.

Bahagiamu, tak perlu kau gantungkan pada manusia. Karena tokoh utama dalam hidupmu adalah dirimu sendiri.

Tidak berharap pada manusia akan membuatmu menjadi manusia yang paling mengutamakan Tuhan, ada masalah sedikit tanya pertama untuk menemukan solusi pada Tuhan, bukan manusia.

Berharaplah bahwa saat harapan kau gantungkan pada manusia, Tuhan ikut serta menuntun harapan itu padamu. Asal kau tak pernah kecewa jika pada akhirnya Tuhan tak mengabulkan harapan itu.

Hidup tak pernah mudah.

Tak pernah pula sulit.

Hidup itu antara…

Antara sulit dan mudah.

Bagian sulit adalah proses menuju kuat.

Bagian mudah adalah hasil dari proses tadi.

Seperti rentangan jarak antara sedih dan tawa, hidup berada di tengah.

Saat terlalu sering tertawa ia berlari ke sedih, pun sebaliknya.

Agar kita ingat, jarak itu akan menyempit, hingga hidup mulai sesak, dan kehilangan nafas.

Dibawah hidup, ada mati yang menunggu.

Mungkin seperti itu, arti dari hidup sekarang ini.

Wajar untuk takut akan kecewa, aku dan kamu pernah merasakannya dan berharap itu takkan terjadi lagi. Namun ketakutan takkan membawa kita kemana pun dan berusaha dengan mengetahui beberapa risiko menurutku bukanlah suatu hal yang buruk untuk diperjuangkan.

-Cakrawala

Sabar

Menahan diri untuk tidak berkomentar apapun terhadap orang yang meremehkan, berburuksangka, bahkan mencela kita adalah salah satu bentuk akhlak yang baik. Sebab, kita tidak pernah tahu alasan apa yang mendasari seseorang berbuat demikian dan demikian. Merendahlah hati, karena kita juga belum tentu lebih baik dari orang tersebut.

Tidak perlu banyak berbicara atau menjelaskan diri kita pada orang lain, karena mereka akan tetap berdiri pada penilaiannya sendiri.

Perbanyaklah berbaiksangka, dan kurangi mengurusi urusan orang lain. Lebih baik kita fokus mengintrospeksi diri kita sendiri. Allah yang lebih berhak menilai bagaimana diri kita.

Untuk apa bersedih dengan anggapan orang lain? Toh kalau ada apa-apa di kehidupan kita, mereka juga nggak ikut bertanggungjawab.

Kembalikan semua urusan hanya kepada-Nya; meminta petunjuk dan pertolongan pada-Nya. Sebab, yang benar tahu kondisi tiap manusia hanyalah Ia.

Semoga Allah senantiasa memberi kita hati yang bersih, yang lebih mudah melihat kekurangan diri sendiri daripada orang lain.

Pena Imaji

Perhatian Seorang Kakak

Sore itu, aku membawa beberapa snack brownies untuk muridku di TPA. Kuhadiahkan sebagai reward untuk mereka yang selalu hadir dan menyempatkan mengaji setiap sore.

Hari itu, muridku yang hadir hanya tiga dari enam anak. Aku memberi satu-satu, setelah mereka membaca dan menulis. Lalu, kuberi waktu pada mereka untuk jeda sejenak, sambil bergurau satu sama lain. Yaaa sebelum menghafalkan doa-doa.

Kulihat satu muridku tidak memakan kuenya, dan ia simpan di wadahnya. Lalu kutanya,

“Kenapa nggak dimakan?”

“Gapapa”, jawabnya sambil tersenyum.

“Dimakan aja, itu bareng sama temennya”, kataku.

“Nanti aja, masih kenyang”, katanya.

Setelah kedua temannya selesai menghabiskan kue, kami lanjut menghafal dan mengulang kembali doa-doa harian. Setelah semuanya selesai, aku hadiahkan brownies lagi, satu-satu sebelum mereka pulang.

Muridku yang tadi, kukira akan memakan kuenya, namun kulihat ia menyimpannya lagi. Sampai temannya pun ikut bertanya kenapa tidak dimakan kue nya. Temannya itu mengajak untuk makan kue bersama-sama.

“Ayoklah syifa, kita makan kuenya”.

“Kena untuk ading ulun”, katanya.

Nanti untuk adikku, katanya.

Aku sontak terkejut mendengar jawaban si anak polos berumur tujuh tahun itu. Ternyata, ia menyimpan kue (yang hanya sedikit) untuk adiknya di rumah. Aku tersenyum. Betapa aku terharu mendengarnya.

Kupikir, perhatian seorang kakak seringkali dengan pengorbanan, meski dari hal-hal kecil. Ia tentu akan lebih senang memakan brownies berdua dengan adiknya, daripada ia makan untuk dirinya sendiri. Hal ini tentu tidak lepas dari peran orang tua yang baik dalam mendidik anak-anaknya.

Jika kita menganggap bahwa anak adalah investasi terbesar akhirat kita, maka kita tidak akan menganggapnya sebagai beban. Justru kita akan sungguh menyayangi dan tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Kita akan berusaha memperbaiki diri; memberi contoh yang baik; juga mendidiknya dengan sebaik mungkin.

Bahkan semuanya diikhtiarkan sejak sebelum menikah, juga memilih pasangan.

Semoga setiap dari kita yang mengusahakan keturunan, bisa menjadi orang tua yang baik; serta menjaganya sebaik mungkin agar menjadi anak yang shalih, taat, serta memiliki rasa takut dan pengharapan kepada Rabbnya.

Draft yang ditulis di Buntok, 19 Januari 2021 | Pena Imaji

Ujian Kebaikan dan Keburukan

Disaat kita merasa senang, bahagia, atau hal indah lainnya, kita merasa Allah sayang pada kita karena telah banyak memberi nikmat. Padahal belum tentu, bisa jadi kebahagiaan tersebut adalah sebuah ujian bagi kita.

“Maka adapun manusia, apabila Tuhan mengujinya lalu memuliakannya dan memberinya kenikmatan, maka dia berkata, "Tuhanku telah memuliakanku.”” (QS. Al Fajr: 15)

Sedangkan kita merasa diuji saat merasa sedih, terpuruk, sempit atau hal-hal buruk lainnya yang membuat hati gundah gulana. Kita merasa Allah tidak sayang pada kita. Padahal, kita tidak tau bisa jadi Allah beri kebaikan dibalik musibah tersebut.

“Namun apabila Tuhan mengujinya lalu membatasi rezekinya, maka dia berkata, "Tuhanku telah menghinakanku.”” (Q.S Al Fajr: 16)

“Kami akan menguji kalian dengan keburukan dan kebaikan sebagai fitnah (cobaan). Dan kepada Kami kalian dikembalikan” (Q.S Al-Anbiya: 35)

Allah berikan kenikmatan dan kesedihan untuk kita silih berganti. Namun, apakah keduanya membuat kita semakin dekat dengan Allah? Atau malah semakin menjauhkan kita dari-Nya? Segala keadaan yang Allah hadirkan dalam hidup kita ialah ujian.

Semoga, hati kita tidak lalai dari mengingat-Nya, dan pula tidak meremehkan perintah juga larangan-Nya. Hanya hati kita sendiri yang jujur merasakan, apakah kita dekat atau semakin jauh dari Allah?

Yaa muqallibal quluub tsabbit qalbiy ‘ala diinik. Yaa musharrifal quluub sharrif qalbiy 'ala thaa'atik

Buntok, 30 Oktober 2021 | Pena Imaji

Disaat manusia diberi banyak kenikmatan dunia, seperti pasangan yang baik dan pengertian; anak-anak yang pintar dan lucu; harta yang cukup; kesehatan yang stabil; tidak kelaparan; tempat tinggal yang aman dan nyaman. Namun, mereka seringkali terlambat bangun untuk sholat shubuh.

Bagaimana? Bukankah kenikmatan itu juga ujian?

“Kami akan menguji kalian dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan, dan kepada hanya kepada Kami kalian dikembalikan” (QS. al-Anbiya’: 35)

Pena Imaji

Setelah Menikah

Memang benar, setelah menikah hidup kita akan banyak berubah, termasuk lingkar pertemanan. Teman jadi lebih sedikit, sulit punya teman akrab seperti saat single. Karena lingkungan banyak yang berubah, sulit sekali rasanya mencari yang satu frekuensi. Aku merasa tidak bisa melebur seperti dulu. Seperti sekadarnya aja gitu masuk dalam lingkar pertemanan.

Itulah kenapa, pasangan jadi berpengaruh banget sama keseharian kita. Jadi inget nasihat-nasihat selama masuk sirkel career class, salah satunya saat memilih jodoh, pastikan akal dan logika lebih dominan, karena kita harus mempertimbangkan banyak hal; dari hal-hal sensitif, sampai value-value hidup kita lainnya.

Saat berproses dengan calon suami, akupun berusaha menerapkan apa-apa yang akhirnya aku temui titik terangnya. Saat itu, logika lebih dominan. Perasaan hanya sebatas, rasanya lebih tenang setelah istikharah. Pas ketemu atau denger suara dia aja, entah kenapa rasanya menenangkan. Cielah..

Jadi, ketika menjalani rumahtangga, berasa punya suami yang bisa mengayomi, jadi partner sekaligus jadi sahabat paling dekat, setelah terpisah jauh dari sahabat-sahabat dulu. Ya.. ternyata sama suami emang satu frekuensi. Mulai dari deep talking tentang agama atau hal dunia, sampe receh-recehnya segala wkwk

Sekarang.. saat melihat sirkel yang dengan mudahnya memakai uang kantor untuk keperluan pribadi; melihat orang-orang yang menormalisasi mengambil pinjaman ratusan juta di bank demi gaya hidup’; menjual diri karena merasa kurang memenuhi kebutuhan hidup; dan masih banyak lagi.

Membuatku kaget sekaligus banyak bersyukur. Allah nggak kasih aku hati yang tamak terhadap dunia. Aku bersyukur akan hal itu. Hidup tanpa hutang itu menenangkan. Buat aku yang pelupa, lebih memilih nggak suka pinjam-pinjam, apalagi pinjam ke bank cuma demi gaya hidup, ya sama sekali nggak terpikirkan.

Semoga Allah selalu beri kita hati yang cukup atas apa-apa yang kita miliki. Toh, meski seberapa banyak yang Allah titipkan, kalau kita tidak merasa cukup, kita akan terus merasa kurang. Jangan sampai karena merasa kurang, kita cari jalan pintas mengambil dari hal-hal yang haram.

Banjarmasin, 16 April 2022 | Pena Imaji

Menunggu Ujian

Sekiranya manusia itu benar-benar ikhlas saat diuji, dan mengembalikan semua urusannya pada Pencipta, niscaya hatinya pun menjadi tenang dan lapang. Semoga ada banyak dosa yang digugurkan disana, dikuatkan hatinya, dimudahkan segala urusannya.

Sebab, sebaik apapun yang manusia ikhtiarkan, Allah selalu memberi jalan cerita yang jauh lebih baik. Memberikan banyak arti dan pelajaran untuk manusia itu sendiri.

Bersyukur bukan hanya bicara tentang nikmat hidup, melainkan juga nikmat diuji agar selalu mengingat segala kuasa-Nya.

Banjarmasin, 28 Maret 2022 | Pena Imaji

Ruang Penerimaan

Kalau kita merasa menyesal dengan keputusan-keputusan yang kita ambil, padahal sudah melibatkan Allah atas keputusan tersebut. Sebenarnya itu bukan penyesalan, kita hanya perlu belajar bagaimana caranya menerima.

Dari penerimaan itu, justru kita akan banyak belajar; saling mengenal dan akhirnya bisa saling mendukung satu sama lain.

Saat sebelum menikah, persiapkan banyak-banyak ruang penerimaan. Sebab, kitapun harus sadar, kita ini juga butuh diterima, yang itu berarti kitapun harus bisa menerima bagaimana orang lain.

Sangat disayangkan, apabila banyak dari kita tidak mau menerima hal-hal kecil yang sebenarnya bisa ditoleransi, atau hal-hal lain yang bisa dicari jalan keluarnya bersama. Hanya saja, kita menyerah untuk mengupayakannya.

Bukankah Allah tidak akan memberi sesuatu diluar kemampuan hamba-Nya?

Pena Imaji

Kedudukan Suami dan Istri

Setelah menikah, aku seringkali dihadapkan dengan banyak realita yang bersinggungan dengan kedurhakaan istri terhadap suami, yang berimbas pada retaknya rumah tangga, ketidakharmonisan keluarga, selingkuh, cerai, hingga bunuh diri.

Realita di sekitar itu nyata rasanya. Fenomena durhaka merupakan salah satu ketakutanku dulu saat sebelum menghadapi pernikahan.

Islam mengajarkan, bahwa kedudukan suami itu lebih tinggi dari istri. Bahkan Rasulullah juga pernah menyampaikan, seandainya boleh bersujud pada manusia, Rasulullah memerintahkan istri untuk sujud pada suami. Why? Ya nggak tahu, syariat nggak usah dinalarlogika pake akal, nanti kita ujung-ujungnya malah menuhankan kecerdasan kita sendiri.

Nah, paham kan, gimana pentingnya memilih suami dari segi akhlak dan agama; yang bisa diajak diskusi, dan satu frekuensi soal value hidup? Ya karena gimanapun suami kita nanti, kita harus ngimamke dia loh.

Nggak usah banyakin PR, berharap dia nanti berubah. Manusia nggak semudah itu berubah cuy.Realistisaza.

Mau seperti apapun juga suami, ia tetap memiliki kedudukan di atas istri. Meski barangkali di beberapa case, si istri lebih tinggi status sosialnya, atau keilmuannya, atau hartanya, atau gajinya.

Rasanya penting sekali memahami hal ini. Kalau kita kemakan ego sendiri sih, ya habis sudah rumahtangga. Istri merasa lebih tinggi; merasa nggak mau terlihat lebih rendah atau derajatnya harus sama; merasa nggak butuh suami; merasa bukan hal yang penting melayani suami dari hal-hal kecil. Begitu pula sebaliknya, suami terhadap istri.

Ini sih kembali lagi pada diri masing-masing ya, kita mau pegang value hidup berupa hukum agama atau pemikiran-pemikiran lain? Yaaa yang jelas sih, kita harus menyamakan persepsi itu sebelum masuk ke jenjang pernikahan.

Menjadi suamipun meski kedudukannya lebih tinggi, ya juga jangan banyak menuntut ini dan itu pada istri, toh ia punya keterbatasan. Kenali dirinya, lihat kebiasaannya dulu, latar belakangnya juga, beri waktu ia beradaptasi. Begitu pula istri terhadap suami.

Daripada banyak menuntut diantara keduanya, mending dikomunikasikan, saling diskusi, beri ruang tumbuh satu sama lain. Perjalanan pernikahan ini memang mengharuskan kita belajar, belajar menurunkan ego; belajar untuk saling memenuhi kebutuhan; belajar untuk saling memahami; supaya saling nyaman satu sama lain.

Setelah mendengar kabar salah satu keluarga dari rekan kerja, yang bunuh diri setelah cekcok dengan pasangannya, aku berdiskusi, bercerita pada suami, dan bilang pada suamiku, “Kalau aku ngelakuin kesalahan, tolong mas bilang aja ke aku ya”

Jika saat ini kita diberi pasangan yang baik, maka bersyukurlah. Namun jika belum dipertemukan, percayalah, bahwa yang paling penting dari hidup ini bukan semata-mata pernikahan, melainkan bagaimana kita belajar untuk terus bertumbuh dan berbenah; beradaptasi; berperan dan berdaya; juga memperluas zona nyaman kita.

Buntok, 10 Maret 2022 | Pena Imaji

loading